A.
Pengertian
Pendidikan
Kata
Pendidikan Juga berasal dari Bahasa yunani kuno yaitu dari kata “ Pedagogi “
kata dasarnya “ Paid “ yang berartikan “ Anak “ dan Juga “ kata Ogogos “
artinya “ membimbing ”. dari beberapa kata tersebut maka kita simpulkan kata
pedagos dalam bahasa yunani adalah Ilmu yang mempelajari tentang seni mendidik
Anak.
Secara bahasa
definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu sendiri.
Kemudian kita
berlanjut pada UU tentang adanya pendidikan tersebut, Menurut UU No. 20 tahun
2003 pengertian Pendidikan adalah sebuah usaha yang di lakukan secara sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaaan, membangun kepribadian, pengendalian diri, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan Negara. Undang – undang inilah yang menjadi dasar berdidirinya proses
pendidikan yang ada di Negara Indonesia.[1]
B. Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli
Adapun
pengertian-pengertian atau definisi pendidikan menurut pakar dibidangnya antara
lain:
1. Prof. H. Mahmud Yunus: Yang dimaksud pendidikan ialah
suatu usaha yang dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak
yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga
secara perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang
paling tinggi. Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukanya
dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.
2. Prof. Dr. John Dewey: Menurutnya pendidikan merupakan
suatu proses pengalaman. Karena kehidupan merupakan pertumbuhan, maka
pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin manusia tanpa dibatasi oleh usia.
Proses pertumbuhan adalah proses penyesuaian pada setiap fase dan menambah
kecakapan dalam perkembangan seseorang melalui pendidikan.
3. M.J. Langeveld: Pendidikan merupakan upaya dalam
membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan. Pendidikan adalah suatu
usaha dalam menolong anak untuk melakukan tugas-tugas hidupnya, agar mandiri dan
bertanggung jawab secara susila. Pendidikan juga diartikan sebagai usaha untuk
mencapai penentuan diri dan tanggung jawab.
4. Prof. Herman H. Horn: Beliau berpendapat bahwa
pendidikan adalah suatu proses dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah
berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti
termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari
manusia.
5. Driyarkara: Pendidikan diartikan sebagai suatu
upaya dalam memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf
yang insani.
6. Ki Hajar Dewantara: Menurutnya pendidikan adalah suatu
tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai
manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup
yang setinggi-tingginya.
7. Stella van Petten Henderson: Pendidikan yaitu suatu kombinasai
dari pertumbuhan dan perkembangan insani dengan warisan sosial.
8. Kohnstamm dan Gunning: Pendidikan merupakan suatu
pembentukan hati nurani manusia, yakni pendidikan ialah suatu proses
pembentukan dan penentuan diri secara etis yang sesuai dengan hati nurani.
9. Horne: Menyatakan bahwa pendidikan
adalah proses yang dilakukan secara terus menerus dari penyesuaian yang
lebih tinggi bagi manusia yang telah berkembang secara fisik dan mentalnya.
10. Frederick J. Mc Donald: mengemukakan pendapatnya bahwa
pendidikan ialah suatu proses yang arah tujuannya adalah merubah tabiat manusia
atau peserta didik.
11. Ahmad D. Marimba: Mengemukakan bahwa pendidikan
ialah suatu proses bimbingan yang dilaksanakan secara sadar oleh pendidik
terhadap suatu proses perkembangan jasmani dan rohani peserta didik, yang
tujuannya agar kepribadian peserta didik terbetuk dengan sangat unggul.
Kepribadian yang dimaksud ini bermakna cukup dalam yaitu pribadi yang tidak
hanya pintar, pandai secara akademis saja, akan tetapi baik juga secara
karakter.
12. Carter V. Good: Mengartikan pendidikan
sebagai suatu proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan
prilaku yang berlaku dalam masyarakat. Proses dimana seseorang dipengaruhi oleh
lingkungan yang terpimpin khususnya didalam lingkungan sekolah sehingga dapat
mencapai kecakapan sosial dan dapat mengembangkan kepribadiannya.[2]
C.
Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di
Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan
yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Jadi
unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Hal
yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai
sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang
sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap
pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang
dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini
manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu
berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai
penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar.
Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari
atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh
pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini
sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap
manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan
kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal
diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid
sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas
para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan
merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka
manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan
zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek
(yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak
belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar
budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat
bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat?
Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi
kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan
penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik
internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan.
Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai
sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan
sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan
tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat
relevan untuk direnungkan.[3]
D.
Permasalahan Eksternal dan Internal dalam Pendidikan
Masa Kini
Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini
sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya
dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal
pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga
dimensi global. Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di
Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu
permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.
Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti,
karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector
kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan
social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir
sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua
permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia
pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan
fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.
1.
Permasalahan
globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan
nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi
ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau
global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi
pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan
dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum
dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak.
Bila persoalannya hanya
sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial
(gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”.
Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau
ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK
regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan.
Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai
prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke
bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius
bagi pendidikan nasional.
2.
Permasalahan
perubahan sosial
Ada sebuah adagium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak
ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu
sendiri. Itu artinya, perubahan social merupakan peristiwa yang tidak bisa
dielakkan, meskipun ada perubahan social yang berjalan lambat dan ada pula yang
berjalan cepat. Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di
atas, adalah melakukan inovasi-inovasi social, yang maksudnya tidak lain adalah
mendorong perubahan social. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial
tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks. Kenyataan menunjukkan
bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi
yang demikian pesat dewasa ini, perubahan social berjalan jauh lebih cepat
dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya,
fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi
tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28).
Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik
antar pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut
kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa
Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan
ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola
dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan
keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi
agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
Adapun permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa
kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat
permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang
berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain
ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain,
seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan
prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai
permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga
permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem
kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
1.
Permasalahan
Sistem Kelembagaan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud
dengan uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar
pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan
umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam
klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah
dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981:
182).
Dualisme
dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap
sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan
solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii
Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis
pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler,
yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi. Sedangkan sistem pendidikan
yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan
kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut
merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”.
Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal
pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup
pembahasan makalah ini.
2.
Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan
proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi
telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas
proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu
artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan. Menurut
Suyanto (2007: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah
kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan
lancar baca tulis alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa
menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan:
“guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki
profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2007: 3-4) menjelaskan bahwa guru yang
profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan
ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat,
(b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi
dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e)
adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide
etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual,
dan (i) memiliki organisasi profesi. Dari ciri-ciri atau karakteristik
profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang
dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik.
Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan,
atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan) Suyanto (2007: 4). Namun
kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer,
yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai
guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan
nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak
profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi
“pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
3.
Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi dewasa ini
mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu
memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma
pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran
baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru,
menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid
berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini
sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept).
Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh
Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media,
berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi
guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis
serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model
pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi
pembelajaran “hadap masalah” (problem posing). Meskipun dalam aspirasinya,
sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran
paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun
kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi
pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya
berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.[4]
[1] http://www.lebahmaster.com diambil pada
23/03/2017
[2] http://www.seputarpengetahuan.com
diambil pada 23/03/2017
[3] https://van88.wordpress.com diambil pada
23/03/2017
[4] http://pengantar-bahasa-indonesia.blogspot.co.id
diambil pada 23/03/2017
0 Komentar