definisi pendidikan dan masalah eksternal-internalnya

March 22, 2017

A.    Pengertian Pendidikan
Kata Pendidikan Juga berasal dari Bahasa yunani kuno yaitu dari kata “ Pedagogi “ kata dasarnya “ Paid “ yang berartikan “ Anak “ dan Juga “ kata Ogogos “ artinya “ membimbing ”. dari beberapa kata tersebut maka kita simpulkan kata pedagos dalam bahasa yunani adalah Ilmu yang mempelajari tentang seni mendidik Anak.
Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu sendiri.
Kemudian kita berlanjut pada UU tentang adanya pendidikan tersebut, Menurut UU No. 20 tahun 2003 pengertian Pendidikan adalah sebuah usaha yang di lakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, membangun kepribadian, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Undang – undang inilah yang menjadi dasar berdidirinya proses pendidikan yang ada di Negara Indonesia.[1]
B.     Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli
Adapun pengertian-pengertian atau definisi pendidikan menurut pakar dibidangnya antara lain:
1.      Prof. H. Mahmud Yunus: Yang dimaksud pendidikan ialah suatu usaha yang dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi. Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukanya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.
2.      Prof. Dr. John Dewey: Menurutnya pendidikan merupakan suatu proses pengalaman. Karena kehidupan merupakan pertumbuhan, maka pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin manusia tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan adalah proses penyesuaian pada setiap fase dan menambah kecakapan dalam perkembangan seseorang melalui pendidikan.
3.      M.J. Langeveld: Pendidikan merupakan upaya dalam membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan. Pendidikan adalah suatu usaha dalam menolong anak untuk melakukan tugas-tugas hidupnya, agar mandiri dan bertanggung jawab secara susila. Pendidikan juga diartikan sebagai usaha untuk mencapai penentuan diri dan tanggung jawab.
4.      Prof. Herman H. Horn: Beliau berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.
5.      Driyarkara: Pendidikan diartikan sebagai suatu upaya dalam memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf yang insani.
6.      Ki Hajar Dewantara: Menurutnya pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
7.      Stella van Petten Henderson: Pendidikan yaitu suatu kombinasai dari pertumbuhan dan perkembangan insani dengan warisan sosial.
8.      Kohnstamm dan Gunning: Pendidikan merupakan suatu pembentukan hati nurani manusia, yakni pendidikan ialah suatu proses pembentukan dan penentuan diri secara etis yang sesuai dengan hati nurani.
9.      Horne: Menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang dilakukan secara terus menerus dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi manusia yang telah berkembang secara fisik dan mentalnya.
10.  Frederick J. Mc Donald: mengemukakan pendapatnya bahwa pendidikan ialah suatu proses yang arah tujuannya adalah merubah tabiat manusia atau peserta didik.
11.  Ahmad D. Marimba: Mengemukakan bahwa pendidikan ialah suatu proses bimbingan yang dilaksanakan secara sadar oleh pendidik terhadap suatu proses perkembangan jasmani dan rohani peserta didik, yang tujuannya agar kepribadian peserta didik terbetuk dengan sangat unggul. Kepribadian yang dimaksud ini bermakna cukup dalam yaitu pribadi yang tidak hanya pintar, pandai secara akademis saja, akan tetapi baik juga secara karakter.
12.  Carter V. Good: Mengartikan pendidikan sebagai suatu proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan prilaku yang berlaku dalam masyarakat. Proses dimana seseorang dipengaruhi oleh lingkungan yang terpimpin khususnya didalam lingkungan sekolah sehingga dapat mencapai kecakapan sosial dan dapat mengembangkan kepribadiannya.[2]
C.    Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.[3]
D.    Permasalahan Eksternal dan Internal dalam Pendidikan Masa Kini
Permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global. Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.
Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan social adalah masalah “klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.
1.      Permasalahan globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak.
Bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya “regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.
2.      Permasalahan perubahan sosial
Ada sebuah adagium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya, perubahan social merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada perubahan social yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat. Bahkan salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi social, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan social. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan paradoks. Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan social berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991: 28).
Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional. 
Adapun permasalahan internal pendidikan di Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. 
1.      Permasalahan Sistem Kelembagaan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).

Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi. Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini. 

2.       Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi keberhasilan pendidikan. Menurut Suyanto (2007: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh Suyanto (2007: 3-4) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi. Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan) Suyanto (2007: 4). Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini. 
3.       Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan. Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept).
Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing). Meskipun dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme guru.[4]



[1] http://www.lebahmaster.com diambil pada 23/03/2017
[2] http://www.seputarpengetahuan.com diambil pada 23/03/2017
[3] https://van88.wordpress.com diambil pada 23/03/2017
Previous
Next Post »
0 Komentar