BAB II
PEMBAHASAN
1. Bea Materai
1. 1. Pengertian Bea Materai
1. 1. Pengertian Bea Materai
Bea Meterai
merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea
Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea
Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan
menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.
1. 2. Dasar Hukum
a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna,
Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005.
d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea
Meterai dengan Menggunakan Cara Lain.
e. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan
Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
f. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan
Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
g. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan
Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
h. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea
Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
i. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian
Kemudian.
j. Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan
Bea Meterai.
-
Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas
baik untuk wajib pajak maupun obyek pajak.
-
Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu
daripada saat terutang.
-
Waktu pembayaran dapat dilakukan secara
isidentil dan tidak terikat waktu.
- Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan
maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
- Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
- Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan,
termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap
nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
- Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan
oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum
dilunasi sebagaimana mestinya.
- Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas
melayani permintaan pemeteraian kemudian.
2. Objek Bea Materai
Pada prinsipnya
dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai nominal
sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang
digunakan di muka pengadilan, antara lain :
1)
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang
dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
2)
Akta-akta notaris termasuk
salinannya.
3) Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
4) Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
-
yang menyebutkan
penerimaan uang
-
yang menyatakan pembukuan
uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank
-
yang berisi pemberitahuan
saldo rekening di bank
-
yang berisi pengakuan
bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.
5) Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
6) Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan
digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa
dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan
Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau
digunakan oleh orang lain, lain dan maksud semula.
2.1
Tidak Dikenakan Bea
Materai
Secara umum dokumen yang
tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi
intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.
Dokumen yang tidak
termasuk objek Bea Meterai adalah:
1)
Dokumen yang berupa:
surat penyimpanan
barang;
konosemen;
surat angkutan
penumpang dan barang;
keterangan
pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen,
dan surat angkutan penumpang dan barang;
bukti untuk
pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
surat pengiriman
barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
surat-surat
lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
2)
Segala bentuk ijazah.
3)
Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang
tunjangan dan pembayaran
lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang
diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
4)
Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas
negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5)
Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk
penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas
pemerintah daerah dan bank.
6)
Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk
keperluan intern organisasi.
7)
Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran
uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang
bergerak di bidang tersebut .
8)
Surat gadai yang diberikan oleh Perum
Pegadaian.
9)
Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek,
dengan nama dan bentuk apapun.
3. Tata Cara Pelunasan Bea Materai
Saat
terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai
tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan
saat terutangnya Bea Meterai adalah:
ü Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu
diserahkan;
ü Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya
dokumen dibuat;
ü Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,
4. Cara Pelunasan Bea Materai
4.1
Pelunasan Bea Materai
dengan Menggunakan Materai Tempel
1)
Meterai Tempel direkatkan seluruhnya
dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
3)
Pembubuhan tanda tangan disertai
dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang
sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan di atas kertas dan sebagian
lagi di atas Meterai Tempel.
4)
Jika digunakan lebih dan satu Meterai
Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua Meterai Tempel dan
sebagian di atas kertas.
3)
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea
Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas Kertas Meterai yang
digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas
tidak bermeterai.
4)
Jika sehelai Kertas Meterai karena
sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh
yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas Meterai telah terlanjur ditulis
dengan beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai
dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat
tulisan atau keterangan baru, maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan
dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.
Pelunasan dengan cara membubuhkan
tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan memerlukan beberapa syarat sebagai
berikut:
1)
Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya
diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah
rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.
2)
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai
dengan mesin teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:
Ø Mengajukan permohonan ijin secara
tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan
jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta
melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus
dilunasi Bea Meterai setiap hari.
Ø Melakukan penyetoran Bea Meterai di
muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
Ø Menyampaikan laporan bulanan
penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat
paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
1)
Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya
diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam
Pasal 1 huruf d PP No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap
hari minimal sebanyak 100 dokumen.
ü Mengajukan permohonan ijin secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan
perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.
ü Pembayaran Bea Meterai di muka
minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap
bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (ke Kas Negara melalui Bank
Pensepsi).
2)
Ijin pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama
saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi
kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
4.5 Tata Cara Pelunasan Bea Materai dengan Tekhnologi Percetakan
Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya
diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
1)
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai
dengan teknologi pencetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut:
ü
Pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang
harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas
Negara melalui Bank Persepsi.
ü
Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai
dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.
2)
Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama
dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laponan bulanan kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
a)
Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen
sebagai berikut:
- Surat
Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat pendata.
- Akta-akta
Notaris termasuk salinannya.
- Surat berharga
seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan Rp1.000.000,00.;
- Dokumen yang
akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
·
Surat-surat biasa dan surat-surat
kerumahtanggaan.
·
Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea
Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan
oleh orang lain selain dan tujuan semula.
b)
Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang
dengan batasan sebagai berikut:
-
Nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea
Meterai.
-
Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea
Meterai Rp 6.000,-
-
Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea
Meterai Rp 6.000,-
c)
Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai
dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
d)
Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp
3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,-
dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.
e)
Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal
sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang
mempunyai harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan
tarif sebesar Rp 6.000,-.
1)
Dokumen yang dibuat di luar negeri
pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terutang
dengan cara pemeteraian kemudian.
2)
Pejabat Pemerintah, hakim, panitera,
jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau
jabatannya tidak dibenarkan:
-
Melekatkan dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain
yang berkaitan;
-
Membuat salinan, tembusan, rangkapan
atau petikan dan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;
Pelangganan terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi
administratif sesuai Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi ini
dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang
harus dilunasi kurang bayar.
- Dokumen mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200%
(dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana
yang dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau kurang dilunasi sebagaimana.
1)
Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas
meterai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan
meterai;
2)
Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk
diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan
atau yang dibuat dengan melawan hak;
3) Barang siapa
dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan menyerahkan, menyediakan untuk
dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tanda
tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan
seolah-olah meterai itu belum dipakai dana atau menyuruh orang lain
menggunakannya dengan melawan haknya;
4) Barang siapa menyimpan bahan-bahan
atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu
kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai;
II. BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN
1. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
1. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas
dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk
hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang
Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lainnya.
Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan dari nilai perolehan objek pajak dengan besaran tarif
sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak. Pada awalnya, BPHTB dipungut oleh
pemerintah pusat, tetapi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), mulai 1 Januari 2011, BPHTB
dialihkan menjadi pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.
1)
UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU
No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2)
KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau
Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
( Pasal 1 UU
No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)
1.
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang
selanjutnya disebut pajak.
2.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah
perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah
dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3.
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak
atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
4.
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan
atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
5.
Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah
pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
6.
Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan.
7.
Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang
seharusnya terutang.
8.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah
pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.
9.
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara
melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha
Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan
sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
10. Surat Keputusan
Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
11. Surat Keputusan
Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
12. Putusan Banding adalah putusan
badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak.
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997
jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
1)
Jual beli
2)
Tukar Menukar
3)
Hibah
4)
Hibah Wasiat, adalah
suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau
bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah
pemberi hibah wasiat meninggal dunia.WarisPemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum
lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum
lainnya tersebut.
5) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.penunjukan pembeli
dalam lelang;
6) Penunjukan
pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat
Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
7) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum
sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim
tersebut.
8) Penggabungan usaha adalah penggabungan dari
dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah
satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
9) Peleburan usaha adalah penggabungan dari
dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan
melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
10) Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu
badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan
usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru
tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
11) Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas
tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum
kepada penerima hadiah.
1. Kelanjutan pelepasan hak;
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak
adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara
atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
2. Diluar pelepasan hak. Yang
dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak
baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari
pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
( Pasal 2 ayat
(3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah :
1. Hak milik,
adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Hak guna
usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh
perundang-undangan yang berlaku.
3. Hak guna
bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu
yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.
4. Hak pakai,
adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5. Hak milik
atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak
atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
6. Hak
pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa
perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan
pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak
ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20
Tahun 2000 )
Tarif pajak yang
dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).
(
Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal :
a.
Jual beli adalah harga transaksi;
b.
Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.
Hibah adalah nilai pasar;
d.
Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.
Waris adalah nilai pasar;
f.
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
adalah nilai pasar;
g.
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
adalah nilai pasar;
h.
Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.
Pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.
Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan
hak adalah nilai pasar;
k.
Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.
Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.
Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n.
Hadiah adalah nilai pasar;
o.
Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga
transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Apabila Nilai Perolehan
Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan n tidak
diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan
dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan.
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20
Tahun 2000 )
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga
rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak
tanah dan atau bangunan.
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20
Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo.KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena
waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20
Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebagai berikut :
1.
Besarnya Nilai Perolehan
Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap Kabupaten/Kota.
2.
Besarnya Nilai Perolehan
Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh
Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak
dimulai.
3.
Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan
besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan memperhatikan
usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
4.
Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan
usulan sebagaimana dimaksud dalam point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan perkembangan
perekonomian regional.
Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:
1.
Untuk perolehan hak karena
waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah);
2.
Untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan
Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007
tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00
(empat puluh sembilan juta rupiah);
3.
Untuk perolehan hak baru
melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam
rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit
bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah);
4.
Untuk perolehan hak selain
perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c,
ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);
5.
Dalam hal Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d
lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d;
6.
dalam hal Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d
lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d."
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20
Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah
ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
xxxx
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP) xxxx (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
(NPOPKP)
xxxx
Besarnya BPHTB terutang = 5% x NPOPKP
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan
terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea
Meterai. Bea materai digunakan untuk dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
penerimaan uang, ataupun untuk surat-surat berharga yang penggunaannya telah
diatur oleh menteri keuangan, adapun jenisnya berupa materai tempel dengan
nominal Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 maupun materai kertas yang biasanya
digunakan untuk surat berharga seperti surat tanda tamat belajar maupun akta
tanah.Penggunaan bea materai dalam dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai alat
pengesahan dokumen tersebut.
·
Dokumen mestinya dikenakan denda
administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau
kurang dibayar sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau
kurang dilunasi sebagaimana.
Menurut Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.
20 Tahun 2000, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, dan inilah yang dinamakan
dengan pajak.
Adapun Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah
hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya,
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Yang menjadi subjek dari BPHTB ini adalah orang
pribadi atau badan yang mempunyai tanah dan bangunan dan ini juga sesuai dengan
yang terdapat dalam UU BPHTB. Sedangkan yang menjadi objek dari BPHTB ini yaitu
tanah dan bangunan.\
Dasar dari pengenaan BPHTB
ini yaitu nilai perolehan Objek pajak (NPOP), dan kemudian yang dikurangi
dengan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP). Dan tarif yang
diberlakukan dalam perhitungan BPHTB ini adalah tarif final sebesar 5%
sebagaiman terdapat dlam UU No. 20 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan
tahun 2004
[4].http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=bphtb
0 Komentar